Langsung ke konten utama

RESENSI BUKU: ENAKNYA BERDEBAT DENGAN ORANG GOBLOK problematika hidup yang dituangkan dengan kejenakaan oleh Puthut Ea







RESENSI BUKU: ENAKNYA BERDEBAT DENGAN ORANG GOBLOK problematika hidup yang dituangkan dengan kejenakaan oleh Puthut Ea

PENDAHULUAN
Kali ini saya akan memuat artikel resensi buku karya Puthut Ea yang berjudul Enaknya Berdebat Dengan orang Goblok. Buku ini merupakan kumpulan essai yang ditulis oleh Puthut ea yang membahas tentang problematika kehidupan dari hal yang terkecil hingga membahas isu ekonomi dan politik.
Puthut Ea memaparkan kedekatannya melalui essai-essai yang ia tulis. Kamu akan diajak untuk memyadari isu-isu yang ada dikehidupan sehari-hari dengan candaan dan gurauan yang akan membuatmu tertawa. Bagaimana kaum anti rokok dan perokok berperang isu, perpolitikan di Indonesia sampai elektabilitas Prabowo dan Jokowi, semua itu tertuang dalam pemikiran Puthut Ea.
Dari pada berlama-lama, yuk langsung saja baca artikel Resensi buku: Enaknya berdebat dengan orang goblok.





Informasi buku:
Judul buku    : Enaknya Berdebat Dengan Orang Goblok
Penulis            : Puthut Ea
Genre             : Politik, ekonomi, sosial, nonfiksi
Penerbit          : Shira Media
Kota terbit     : Yogyakarta
Bahasa            : Indonesia
Tahun             : 2018
Tebal              : 236 halaman
ISBN               : 978-602-5868-50-4





Tentang Penulis
Puthut Ea lahir di Rembang, Jawa Tengah, 28 Maret 1977. Menyelesaikan Pendidikan formal di Fakultas Filsafat UGM. Ia telah menulis sebanyak 29 buku baik karya fiksi maupun nonfiksi (sampai buku ini terbit). Ia adalah kepala suku Mojok, beliau masih aktif menulis sampai sekarang.



Source : twitter.com/puthutea


ULASAN BUKU DAN PESAN YANG DISAMPAIKAN
Polemik yang dihadapi manusia tentu bermacam-macam, dari hal yang sederhana hingga yang ruwet sekalipun. Hal itu yang dilakukan Puthut Ea dalam tulisan kali ini. Puthut ea mengajak para pembaca untuk berfikir sederhana tetapi logis. Itu yang ingin ia sampaikan. Banyak pembahasan menarik dalam buku ini, sejumlah lima puluh tujuh esai dikumpulkan menjadi satu. Akan tetapi penulis hanya akan membahas beberapa topik yang menarik dan tentunya relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.
Topik yang pertama tentu membahas tentang subjudul yang dijadikan judul utama dalam buku ini, yakni Enaknya berdebat dengan orang goblok. Menurut Puthut Ea berdebat dengan orang goblok itu mengesalkan, karena otak mereka seringkali di bawah rata-rata, akan terkadang ia pun menikmati perdebatan dengan orang goblok.

Debat kusir hanya tidak membuahkan apapun. Source:jatimfokus.com

Setidaknya pesan yang disampaikan dalam tulisan ini ialah ketika berdebat dengan orang goblok jangan diambil pusing, dibikin gampang aja. Sering sekali kita menemui fenomena debat kusir terlebih di sosial media. Begitu banyak orang yang ngintelektual di sosial media, seakan mereka adalah pakarnya pakar, ahlinya ahli, lalu ketika berdebat gaungan ketikan mereka Nampak gagah, dan bangga jika bisa menydutkan lawan debatnya di sosmed. Padahal nih ya, debat kusir di sosmed kan gada moderator, gada parameternya, jadi toh ngapain mesti sewot-sewot sih buat debat, haduhh
Topik selanjutnya yakni membahas tentang fenomena pendidikan di Indonesia, subjudulnya yakni Guru Mencubit Berdiri, Murid Bandel Berlari, Kita Mencibir Bangga Sekali. Judul ini membahas tentang problekmatika Pendidikan di Indonesia, seperti kasus guru yang dilaporkan oleh orang tuanya karena tuduhan kekerasan. Isu ini sering kita temui di Indonesia, bahkan kegaduhan akan isu ini merambah ke dunia persosmedan. Ada yang membela si orang tua murid dan muridnya karena tidak etis rasanya mendidik siswa seperti itu, “gue aja belum pernah dijewer sama orang tua gue yang udah ngasih gue makan dan jajan, lah ini berani-beraninyua” tak sedikit pula yang membela para guru, ”kalo tindakan kejahatan murid dilaporkan balik ke polisi, polisi bakal kewalahan. Menyontek dilaporin, tawuran dilaporin, ngerusakin fasilitas Pendidikan seperti nyoret meja, kursi, dilaporkan”.
 
Karakter siswa yang beraneka ragam. Source: Pinterest
 
Sulit rasanya menerapkan idealisme dalam kehidupan ini, jangankan untuk sistem Pendidikan, untuk penerapan idealisme dalam diri sendiri pun rasanya sulit. Idealnya menurut Puthut Ea terdapat 3 pihak yang “wajib” mendidik anak; orang tua, komunitas, dan sekolah. Perlu diingat, bukan hanya sekolah loh ya!! Karena ketika anak terlahir ke dunia, orang yang pertama bertemu dengan anak itu ya orang tuanya, bukan guru apalagi kepala sekolah. Makannya orang tua adalah madrasah pertama bagi anak. Perlu diingat, sekolah itu bukan tempat penitipan anak. Yang dimana orang tua Cuma nerima beres. Sekolah adalah representasi hadirnya negara yang berkewajiban memfasilitasi Pendidikan warganya.
idealnya anak yang berangkat ke sekolah adalah anak yang “tuntas” dididik oleh orang tuanya, yang tentunya berangkat dengan hati ceria dan semangat, bukan malah sebaliknya, berangkat dengan perasaan sedih dan kesal juga kecewa lalu melampiaskan perasaannya itu di sekolah.
Idealnya juga guru yang berangkat ke sekolah adalah guru yang siap mendidik para murid, dengan perasaan semangat dan senyum lebar juga kesejahteraan yang terjamin. Tapi balik lagi kepertayaan “apakah setiap guru berangkat mengajar dengan semangat, senyum lebar, dan kesejahteraan yang terjamin?”.
Jadi jika terjadi situasi demikian, ada guru yang sesekali mencubit atau menjewer siswanya satu semester sekali, ya gak usah berlebihan juga dalam bersikap, karena enggak ada yang bisa menjamin apakah anak kita berangkat ke sekolah dengan jiwa yang sehat dari keluarga yang sehat pula.
Topik pembahasan selanjutnya adalah Jahatkah kaum berjenggot, bercelana cingkrang dan berjidat hitam. Puthut ea memaparkan penalaran yang sederhana dan logis dalam subjudul ini. Seseorang yang berjenggot , bercelana cingkrang dan berjidat hitam tak jarang sekali dilabeli sebagai seseorang yang radikal.

Cadar adalah bentuk mengekspresikan diri seseorang. Source: Pinterest

Agak membingungkan memang, sering sekali kita melihat orang yang mati-matian membela demokrasi dan kebebasan berekspresi, tapi ketika melihat seseorang yang bercadar, berjenggot panjang, bercelana cingkrang, dan berjidat hitam, langsung mencibir bahkan sampai memberikan pandangan negative terhadap mereka. Toh padahal itu kan bentuk mereka mengekspresikan diri mereka, ini letak demokrasinya dimana sih? Duh duh duh …

PENUTUPAN
Buku ini sangat cocok bagi seseorang yang ingin memulai hobby membaca buku, ringan, tapi tetap kritis. Buku ini tidak hanya memaparkan fenomena kehidupan sehari-hari secara kritis akan tetapi juga dengan analisis menurut perspektif Puthut Ea yang dipenuhi kejenakaan. Ya, dibuku ini, ada itu.
Cukup sampai di sini dulu pembahasan resensi buku Enaknya Berdebat Dengan Orang Goblok. Semoga kita dapat memetik hikmah atau pelajaran dari tulisan ini, atau dari bukunya. Jangan lupa share tulisan ini agar semakin banyak teman/kerabatmu yang terinspirasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU: KETIKA TUHAN TAK LAGI DIBUTUHKAN, reminder yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

REVIEW BUKU: KETIKA TUHAN TAK LAGI DIBUTUHKAN, reminder yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.   source:google Beberapa pekan lalu saya berjanji untuk mereview buku ini, walaupun sempat agak terlambat – atau bahkan sangat terlambat. Tema buku yang saya baca kali ini tentang self improvement lagi – atau lebih tepatnya muhasabah diri. Berikut detail informasi mengenai buku ini. Nama Penulis   : Ahmad Rifa’I Rif’an Penerbit            : PT. Elex Media Komputindo Jumlah halaman : 228 halaman tanggal terbit   : Mei 2017 ISBN                :978-602-04-1847-6 Harga               : Rp.62.800,00 Profil penulis  source: https://twitter.com/ahmadrifairifan Ahmad Rifa’I Rif’an lahir dari keluarga yang sederhana, tetapi sangat kental Pendidikan keislamannya sejak kecil. Beliau merupakan alumni ITS Surabaya. Hoby menulis beliau baru muncul ketika menjalani bangku perkuliahan. Kini diusia yang masih berkepala dua, ia telah menulis lebih

Belajar bersikap Bodoamat dari Mark Manson

Belajar bersikap Bodoamat dari Mark Manson Melihat judulnya saja sudah nyeleneh dan menjadi daya tarik tersendiri dari buku ini. Yup, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, merupakan salah satu buku self improvement yang recommended untuk para pembaca. Buku terjemahan dengan judul asli “ T he Subtle Art of Not Giving a F*ck ” menurut saya tidak dapat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia seutuhnya, yang membua saya harus membaca berulang-ulang disetiap kalimat agar memahami makna dan pesan yang disampaikan Mark. Walaupun demikian Mark Manson yakni penulis dari buku ini dan seorang blogger terkenal ini, memberikan banyak kutipan menarik dan rasional, dengan analogi yang mudah dipahami dengan memberikan contoh kasus kehidupan sehari-hari. Kali ini saya akan mereview buku yang merupakan salah satu buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail. Source: Kompasiana Wait, Seni untuk bersikap bodoamat? Emang ada? Yup, agak nyeleneh memang, sekedar Bodoamat pun ada se